IJMA' MENURUT EMPAT MAHZAB
A. Pengertian Ijma’
Ijma’ secara bahasa (الا جما ع) berarti sepakat atau
consensus dari sejumlah orang seperti dalam firman Allah Swt.:
فأ جمعو ا أ مركم و شر كا عكم(يو نس:۷۱)
Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)
sekutu-sekutumu untuk membinasakan mu.(QS. Yunus :71)
Ijma’
menurut ulama ushul fiqh adalah kesepakatan semua mujtahid diantara umat Islam pada
suatu masa setelah Rasulullah wafat, terhadap hokum syara’ tentang suatu
masalah atau suatu kejadian.[1]
Dalil ijma’ sebagai hujjah:
·
Didalam al-qur’an diantaranya surat an-nisa:49
يا أيها الد ين امنو أطيعو ا الله و أطيعوا
الرسول وأو لي الامر منكم….(النساء:۵۹)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah allah swa.dan
taatilah rasul-nya dan ulil amri di antara kamu…(QS. An Nisa:59)
Al Amri
artinya hal atau perkara, baik masalah dunia dan akhirat. Ulil amri pada
masalah dunia adalah raja, pemimpin, dan penguasa, sedangkan dalam masalah
agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Ibnu Abbas
menafsirkan ulil amri itu dangan ulama . bila para mujtahid telah
sepakat dalam penetapan hokum syara’. Maka wajib diikuti dan dilaksanakan. Dan didalam surat
an nisa: 83 Allah menegaskan:
ولو رد وه إلى الرسول و إلى أو لى الأ مر
منهم لعلمه الد ين يستنبطو نه منهم.(النسإ : ٨٣)
Dan kalau mereka menyerahkan nya kepada
Rasul dan Ulil amri di antara mereka, tentulah irang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka( Rasul dan ulil
amri). (QS. An nisaa’: 83)
·
Didalam hadis nabi:
لا تجمع أمتي على خطإ.
Umatku tidak akan berkumpul (dan sepakat) untuk
melakukan kesesatan
ما راه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن.
Apa yng di pandang baik olah kaum muslimin, maka baik
menurut Allah swt.[2]
B. Unsur- Unsur
Ijma’
Ijma’
itu dapat terwujud dan dianggap sah menurut syara’ bila mencakup empat unsur:
1) Ada sejumlah mujtahid ketika terjadi suatu
peristiwa, kesepakatan itu harus dari sejumlah mujtahid, jika hanya seorang
mujtahid saja, maka menurut syara’ ijma’ tersebut tidak sah.
2) Kesepakatan para mujtahid itu harus berasal
dari semua tempat dan golongan. Tidak sah jika kesepakatan hanya dari satu
tempat saja.
3) Kesepakatan para mujtahid itu terjadi
setelah tukar menukar pendapat lebih dahulu, kemudian dikumpulkan dan ditemukan
adanya kesepakatan.
4) Kesepakatan itu benar-benar dari seluruh
mujtahid dunia islam. Bila kesepakatan hanya mayoritas, maka tidak disebut
ijma’.[3]
a. Ukuran atau
batasan ijma’
Ø Diantara ulama mengatakan ijma’ tidak perlu
adanya kesepakatan seluruh mujtahid, tetapi sudah dipandang cukup jika jumlah
mereka sampai hitungan mutawatir.
Ø Pendapat jumhur ulama tidak disebut ijma’
jaka yang kesepakatan hanya sebahagian besar dari mujtahid.
Ø Pendapat lain mengatakan jika kesepakatan
itu dari ssebahagian besar mujtahid dan sebagian kecil menolak, maka itu tidak digolongkan
ijma’ tetapi bias dijadikan hujjah.
b. Kemungkinan
terjadinya ijma’
Jumhur
ulama berpendapat bahwa ijma’ itu mungkin terjadi dan telah terbukti dalam
perbuatan nyata. Misalnya ijma’ pengangkatan khalifah abu bakar, nenek mendapat
harta warisan seperenam dari harta daan kesepakatan peniadaan pembagian harta
rampasan perang.[4]
C. Pembagian Ijma’
Ulama
ushul fiqh baik yang klasik maupun kontemperer membagi ijma’ kepada dua macam:
1. Ijmak sarih
((الإ جماع
الصريح
Nama
lain dari ijma’ ini adlah Ijma’ Qauli, Hakiki Dan
Qath’i Yaitu kesepakatan
seluruh mujtahidpada suatu masa terhadap sesuatu masalah yang berkaitan dengan
hokum syara’ dengan para mujtahid menyampaikan pendapat masing-masing baik
dengan lisan, tulisan dan perbuatan.
Terhadap
ijma’ sarih ini para jumhur ulama sepakat bahwa ia merupakan hujjah yang qat’iy yang wajib
diamalkan.
2. Ijmak Sukuti ((الإجماع السكو تى
Nama
lainnya adalah Ijma’ Zhanny yaitu Sebagian mujtahid menyatakan
kesepakatan mereka tenteng hokum suatu peristiwa secara nyata pada suatu masa
sedangkan mujtahid yang lainnya bersikap diam, artinya tidak mengemukakan
komentar setuju atau tidak terhadap pehdapat yang telah di kemukakan.[5]
Mengenai Ijma’
sukuti setidaknya ada tiga golongan yang berbeda pendapat.
Pertama:
ijam’ sukuti bukanlah ijma’, apalagi untuk dijadikan hujjah sekalipun sifatnya
zanniy. Ini adalah pendapat dari imam syafi’I dan sebagian pengikut imam malik,
Alasannya adalah diamnya mujtahid boleh jadi tidak sampai masalah yang di ijtihadkan
itu kepada mereka, atau memang mereka tidak berijtihad terhadap masalah
tersebut atau karena mereka takut terhadap pemimpin yang kejam jika pendapatnya
berlawanan dengan yang lain atau malu atas kehebatan mujtahid lain. Atas dasar
ini diamnya mereka tidak dipastikan ijma’.
Kedua:
ijma’ sukuti mmerupakan hujjah yang qat’iy dan tidak bolah di tolak karena ia
sama dengan ijma’ sarih meski kekuatannya sedikit lebih rendah. Ini adalah
pendapat dari sebagian besar pengikut imam hanafi dan pengikut Imam Ahmad Bin
Hanbal, Alasan galongan ini adalah diamnya sejumlah mujtahid atas sesuatu yang
diijtihadkan pleh mujtahid lain menunjukan kesepakatan yang ditunjukan dengan
sikap diam.
Ketiga:
ijma’ sukuti tidak dapat digolongkan sebagai ijma’, tetapi hanya lebih dekat
atau dangan mengarah kepada kesepakatan saja, dan bias dijadikan hujjah yang
meski sifatnya zanniy. Ini adalah pendapat dari sebagian pengikut Imam Abu
hanifah dan sebagian pengikut imam Syafi’i.[6]
D. Kehujjahan Ijma’ Menurut Imam Mazhab
Di kalangan imam mazhab juga terdapat
perbedaan-perbedaan spesifik tentang sumber pembentuk ijma’ yang akan mereka
jadikan hujjah.
1. Imam Hanifah
Menurut
Ulama Hanafiah, baik ijma’ sarih maupun sukuti keduanya boleh dijadikan hujjah.
Ijma’ sukuti boleh dijadikan hujjah dengan alasan bahwa diamnya mujtahid
setelah disodorkan kepadanya peristiwa dan telah sampai akhir pembahasan itu
tidak didapati suatu petunjuk, adlah karena takut oleh penguasa atau malu
mengakui kehebatan mujtahid yang lain.
2. Imam Malik
Imam
Malik menjadikan ijma’ sebagai hujjah atau sandaran
fatwa setelah Al
Qur’an dan Sunnah. Imam malik hanya menerima
ijma’ yang bersumber dari ahli fiqh dan ahli ijtihad. Dalam praktiknya ijma’
ahlu madinah lebih didahulukan dari pada khabar ahad dalam melakukan istimbat
hokum, karena amalan mereka adalh cerminan rasul
3. Imam Syafi’i
Imam Syafi’i hanya
menjadikan Ijma’ Sarih sebagai hujjah, sedangkan Ijma’ Sukuti tidak
beliau jadikan hujjah dan ia juga tidak menerima ijma’ yang bersifat lokal. Ia
menempatkan ijma’ pada urutan ketiga setelah al qur’an dan sunnah.
4. Imam Ahman Ibnu Hambal
Iamam Ahmad
Ibn Hambal hanya menerima dan
menjadikan hujjah ijma’ yang terjadi pada masa sahabat saja, karena setelah
masa itu para ulama islam telah berteberan ke berbagai pelosok negeri sehingga
mengumpulkan mereka untuk mewujudkan ijma’ bukanlah suatu hal yang mudah lagi
bahkan hampir mustahil.[7]
Perdebatan
tentang ijma’ ini, memang sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena
masing-masing mahzab mempunyai sisi pandang yang berbeda satu sama lainnya.
[1]
Abdul Wahhab Khallaf.
2003. Ilmu Ushul Fikih.Jakarta: Pustaka Amani,
hlm. 54.
[2]
Ibid., hlm. 56-58
[3]
Ibid., hlm. 55-56
[4]
Romli. 1999. Muqaranah
Mazahib Fil
Ushul. Jakarta:
Gaya Media
Pratama, hlm. 85-86
[5]
Abdul Wahhab Khallaf.
Ilmu
Ushul Fikih…
hlm. 62.
[6]
Romli. Muqaranah
Mazahib Fil
Ushul… hlm. 92-94.
[7]
M. Ali Hasan. 1998. Perbandingan Mazhab.
Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, hlm. 150-151.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar