Perihal wasiat atau testamen merupakan salah
satu bagian dari hokum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil
dalam hokum keluarga. Wasiat sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mewasiatkan tehadap hartanya
setelah ia meninggal dunia kelak kepada seseorang di luar ahli waris.
Hokum perdata di Indonesia yang masih bersifat
pluralism, yang artinya di Indonesia masih berlaku bermacam-macam hokum
perdata. Diantaranya adalah hokum perdata nasional, hokum perdata eropa (BW [Bugerlijk Wetboek ]),
hokum perdata islam dan lain-lain. Wasiat ini diatur dalam hokum-hukum perdata tersebut.
Pada kesempatan ini pemakalah akan membahas
perihal wasiat menurut hokum Islam yang notabene agama mayoritas penduduk Indonesia dan wasiat menurut BW yang merupakan
hokum perdata peninggalan Belanda saat menjajah bangsa Indonesia ± 3,5 abad lamanya. Dan
makalah ini yang berjudul “wasiat menurut hokum Islam dan BW.
A.
Pengertian
Wasiat
Wasiat (testamen) adalah
pernyataan kehendak seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap
hartanya setelah ia meninggal dunia kelak. Pelaksanaan wasiat dilakukan setelah
pewaris meninggal dunia.
Istilah wasiat diambil dari bahasa Arab,
sehingga dalam hokum Islam wasiat sangat penting sebab Al Qur’an menyebut
perihal wasiat ini berulang kali. Wasiat ini juga dikenal dalam hokum perdata
menurut BW.
B.
Wasiat Menurut
Hokum Waris Islam
Demikian pentingnya wasiat dalam hokum
islam sehingga Al-Qur’an secara tegas dan jelas memberikan tuntunan tentang
wasiat, diantaranya:
1.
Surat
Al-Baqarah:180, 181, 182, yaitu:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ .`yJsù ¼ã&s!£t/ $tBy÷èt/ ¼çmyèÏÿx !$uK¯RÎ*sù ¼çmßJøOÎ) n?tã tûïÏ%©!$# ÿ¼çmtRqä9Ïdt7ã 4 ¨bÎ) ©!$# ììÏÿx ×LìÎ=tæ ÇÊÑÊÈ ô`yJsù t$%s{ `ÏB <ÉqB $¸ÿuZy_ ÷rr& $VJøOÎ) yxn=ô¹r'sù öNæhuZ÷t/ Ixsù zOøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÑËÈ
Artinya:
180.
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
181.
Maka Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, Maka Sesungguhnya
dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.
182.
(akan tetapi) Barangsiapa khawatir terhadap orang yang Berwasiat itu, Berlaku
berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan, antara mereka, Maka
tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
2.
Surat
Al-Baqarah ayat: 240, yaitu:
tûïÏ%©!$#ur cöq©ùuqtGã öNà6YÏB tbrâxtur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB Æù=yèsù þÎû ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur îÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ
Artinya:
240.
Dan orang-orang yang akan meninggal
dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk
isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka
tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana .
3.
Surat
An Nisa ayat 11, yaitu:
.`ÏB…
Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur w
tbrâôs? öNßgr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÊÊÈ
Artinya:
11.
… (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.[1]
Secara zahir surat An Nisa:11,menjelaskan bahwa wasiat
harus di dahulukan ketimbang membayar utang orang yang meninggal. Namun secara
hakiki, hutang lah yang mesti terlebih dahulu ditunaikan. Jadi utang-utang
pewaris terlebih dahullu ditunaikan, kemudian barulah menunaikan wasiatnya yang
dibuat sebelum meninggal dunia. Inilah yang diamalka Rasulullah saw.
Hikmah dari mendahulukan hutang karena utang
merupakan keharusan yang tetap baik ketika ia masih hidup ataupun sudah mati.
Selain itu orang yang mempiutanginya akan menuntut kepada ahli warisnya jika
yang memiliki hutang telah meninggal. Sedangkan wasiat hanyala suannah yang
dianjurkan, kalaupun tidak ditunaikan tidak akan ada orang yang menuntutnya. Maksud
Allah SWT dalam surat
Annisa ayat 11 mendahulukan penyebutan wasiat agar manusia tidak melecehkan
wasiat dan manusia tidak menjadi kikir
(khususnya para ahli waris)[2].
Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan wasiat antara lain:
1.
Almusji, yaitu orang yang membuat surat wasiat itu harus cakap dan
bertindak secara suka rela tanpa paksaan serta ia harus benar-benar berhak atas
harta yang akan diwasiatkan.
2.
Almusja, lahu, yaitu orang yang akan menerima wasiat harus cakap
menerimanya, ia tak termasuk ahli waris pemberi wasiat, dan harta yang
diperoleh dari wasiat itu tidak boleh dipergunakan bertentangan dengan hokum.
3.
Almusaji,
bihi, yaitu harta yang akan diwasiatkan sifatnya harus dapat dipindah
tangan kan .
Wasiat tidak boleh melebihi sepertiga(1/3) dari harta setelah
dikurangi dengan semua hutang sebab melebihi dari sepertiga bererti mengurangi
hak ahli waris. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Bukhari yang meriwayatkan
tentang naasehat Rasulullah kepada Sa’ad bin abi
waqaas, ketika merasa dirinya akan meninggal dunia.
4.
Asj
sjighah, yaitu isi dari wasiat harus terang
dan jelas, tidak menimbulkan kekeliruan, tidak bertentangan dengan peraturan
yang telah ditentukan, dan dilakukan di depan saksi-saksi paling sedikit dua
orang.
Apabila ternyata ada wasiat yang melebihi
sepertiga dari harta peninggalan, maka diselesaikan dengan salah satu cara
sebagai berikut:
1.
Dikurangi
sampai batas sepertiga harta peninggalan, atau
2.
Diminta
kesediaan semua ahli waris yang pada saat itu berhak menerima warisan, apakah
merka mengikhlaskankelebihan dari sepertiga itu. Jika para ahli waris itu
ikhlas, maka pemberian wasiat yang melebihi sepertiga itu halal hukumnya.
Ketentuan lain yang berkaitan dengan
wasiat antara lain bahwa setelah pemberi wasiat meninggal dunia, penerima harus
menyatakan secara tegas bahwa ia menerima wasiat. Hal tersebut hanya dapat
dilakukan setelah pemberi wasiat meninggal sebab jika pemberi wasiat masih
hidup, maka sewaktu-waktu wasiat tersebut bias dicabut kembali. Jika penerima
wasiat meninggal dunia setelah pemberi wasiat wafat, akan tetapi penerima
wasiat belum secara tegas menyatakan menerima, maka sebagai gantinya adalah ali waris mmereka masih berhak untuk itu.
C. Wasiat
Menurut
BW
Hokum waris menurut BW mengenal
pengaturan wsiat dengan nama testamen yang diatur dalam buku kedua bab ketiga
belas. Dalam pasal 875 BW secara tega disebutkan pengertian tentang surat
wasiat yaitu:
“surat wasiat atau testamen adalah suatu akta yang memeuat
pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia
meninggal dunia dan dapat di cabut kembali”
Ketentuan lain dalam pembentukan suraat wasiat
adalah bahwa pembuatan wasiat harusmenyatakan kehendaknya yang berupa amanat
terakhir ini secaara lisan di hadapan notaries dan saksi-saksi. Salah satu
cirri dan sifat yang terpenting dan khas dalam setiap surat wasiat, yaitu surat wasiat selalu dapat
di tarik kembali oleh si pembuatnya. Hal ini di sebabkan tindakan membuat surat
wasiat adlah merupakan pembuatan hokum yang sifatnya sangat pribadi.
BW mengenal tiga macam bentuk surat wasiat, yaitu:
1.
Wasiat Olografis
Yaitu surat wasiat yang seluruhnya
ditulis dengan tangan dan ditandatangani pewasis sendiri. Kemudian surat wasiat
tersebut harus di serahkan untuk di simpan pada seoranng notaries dan
penyerahan pada notaries ini ada dua macam, yaitu bisa di serahkan dalam
keadaan terbuka juga dalam keadaan tertutup. Kedua cara
penyerahan dan penyimpanan pada notaries
itu mempunyai akibat hokum yang satu sama lain berbeda, yaitu:
Ø Apabila surat wasiat diserahkan dalam keadaan terbuka maka
dibuatlah akta notaries tentang penyerahan itu yang ditanda tangani
olehpewaris, saksi-saksi, dan juga notaries. Akta penyimpanan tersebutditulis
di kaki surat wasiat tersebut, jika tidak ada tempat kosong pda kaki surat wasiat tersebut,
maka amanat dituls lagi pada helai kertas yang lain.
Ø Apabila surat wasiat diserahkan kepada notaries dalam keadaan
tertutup, maka pewaris harus menulis kembali pada sampul dokumen itu bahwa surat tersebut berisikan wasiatnya
dan harus menandatangani keterangan itu di hadapan notaries dan saksi-saksi.
Setelah itu pewaris harus membuat akta penyimpanan surat wasiat pada kertas
yang berbeda.
2.
Wasiat Umum.
Yaitu
surat wasit yang dibuat oleh seorang notaris, dengan cara orang yang akan
meninggalkan warisan itu menghadap notaris serta menyatakan kehendaknya dan
memohon kepada notaris agar dibuatkan akta notaris dengan dihadiri dua orang
saksi pembuat surat wasiat harus menyampaikan sendiri kehendaknya di hadapan
saksi-saksi. Hal itu tidak dapat dilakukan dengan perantaraan orang lain, baik
anggota keluarganya maupun notaris yang bersangkutan. Surat wasiat harus dibuat
dalam bahasa yang dipergunakan oleh pewaris ketika menyampaikan kehendaknya,
dengan syarat bahwa notaris dan saksi-saksi juga mengerti bahasa tersebut. Hal ini
mengingat kesalahan dalam surat wasiat, biasanya tidak dapat mengingat
kesalahan dalam surat wasiat, biasanya tidak dapat diperbaiki lagi sebab hal
itu baru diketahui setelah pewaris meninggal dunia. Jadi sedapat mungki
kesalahan dalam formalitas itu harus diperkecil. Syarat untuk saksi-saksi dalam
surat wasiat umum antara lain harus sudah berumur 21 tahun atau sesudah
menikah. Merka harus warga negara indonesia dan juga mengerti bahasa yang
dipakai dalam surat wasiat tersebut. Terdapat beberapa orang yang tidak boleh
menjadi saksi dalam pembuatan surat wasiat umum ini, yaitu:
Ø
Para ahli waris atau
orang yang menerima wasiat atau sanak keluarga mereka sampai derajat keempat.
Ø
Anak-anak, cucu-cucu,
fan anak-anak menantu, dan anak atau cucu notars.
Ø
Pelayan-pelayan
notaris yang bersangkutan.
3.
Wasiat Rahasia.
Yaitu surat wasiat
yang ditulis sendiri atau ditulis orang lain yang disuruhnya untuk mrnulis
kehendak terakhirnya. Kemudian ia harus menamdatangani sendiri surat tersebut.
Surat wasiat semacam ini harus disampul dan di segel, kemudian diserahkan
kepada notaris dengan dihadiri empat orang saksi. Selanjutnya pembuat wasiat
harus membuat ketrangan dihadpan notaris dan saksi-saksi bahwa yang termuat
dalam sampul itu adlah surat wasiaatnya yang ditulis sendiri atau ditulis orang
lain dan ia menandatanganinya. Kemudian notaris membuat keterngan yang isinya
membenarkan keterangan tersebut.
Setelah semua
formalitas dipenuhi, surat wasiat itu seanjutnya harus disimpan pada notaris
dan selanjutnya merupakan kewajiban notaris untuk memberi tahukan adanya surat
wasiat tersebut kepada orang-orang yang berkepentingan, apabila pembuat surat
wasiat meninggal dunia.[3]
D.
Ikhtisar Wasiat.
Pernyataan kehendak
seseorang tentang apa yang akan dilakukan terhadap harta kekayaannya setelah ia
meninggal dunia, ini diperkenalkan oleh hukum dan disebut wasiat. Hal ini
diatur, baik dalam hukum islam maupun BW dan dibawah ini akan dipaparkan
ikhtisar tentang bagaumana masing-masing sistem hukum islam dan BW mengatur
perihal wasiat.
1.
Dikenal pada semua
sistem hukum yang berlaku di indonesia tentang waris. Bahwa wasiat adalah
pemberian seseorang kepada orang lain diluar ahli waris, melalui surat wasiat
atau testamen. Akan tetapi pemberian itu dapat dilaksanakan setelah pewaris
menunggal dunia.
2.
Hukum islam memberikan
pembatasan tentang pemberian melalui surat wasiat ini sampai jumlah sepertiga
dari harta peninggalan bersih. Hal ini dimaksudkan agar pewaris dengan surat
wasiat yang ia buat tidak mengesampingkan hak ahli waris menurut undang-undang.
Di lain pihak, hukum Islam membatasi bahwa seseorang dilarang mewasiatkan
kepada ahli warisnya sendiri. Hukum perdata BW juga mengatur demikian, bahwa
pemberian dengan surat wasiat umumnya dilakukan kepada orang-orang diluar ahli
waris, dengan pembatasan adanya “legitime portie”, yaitu bagian mutlak para
ahli waris dalam garis lurus, anak-anak beserta keturunannya dan orang tua
besrta leluhur beserta kaetas, tidak boleh dikurangi oleh pewaris dengan adanya
wasiaaat ataupun hibah sebab bagian mutlak para ahli waris itu telah ditentukan
jumlahnya dalam undang-undang.
3.
Bentuk yang dikenal
dalam sistem hukum Islam dan BW pada dasarnya sama, yaitu dapat berbentuk lisan
maupun tertulis. Menurut BW, apabila wasiat dibuat dalam bentuk lisan melalui
ucapan-ucapan terakhir peninggal warisan, maka untuk ssahnya wasiat semacam itu
hendaknya dihadiri oleh para saksi. Sedangkan apabila wasiat dibuat secara
tertulis, hal ini bisa dilakukan di depan notaris atau tidak di depan notaris.
Sedangakan menurut hukum Islam jika wasiat dibuat secara tertulis, surat
tersebut tidak perlu ddi tandatangani, akan tetap aoabila surat wasiat tersebut
ditandatangani oleh pembuat wasiat sendiri maka tidak perlu memakai saksi sebab
sepanjang maksud pembuat wasiat sudah tersurat dan jelas, wasiat tersebut sah
menurut hukum Islam.
4.
Dalam hukum Islam
persetujuan ahli waris harus diberikan baik sebelum meninggalnya pewaris maupun
sesudah meninggalnya pewaris, jika wasiat tersebut melebihi jumlah sepertiga
dari harta peninggalan bersih, jika para ahli waris tidak menyetujui, maka
wasiat tersebut dikurangi sampai jumlah sepertiga itu.
5.
Sebagaimana telah
dikemukakan di atas bahwa wasiat merupakan kehendak terakhir dati pewaris. Oleh
karena itu, baik menurut hukum Islam dan hukum BW, wasiat dapat ditarik kembali
sewaktu-waktu oleh si pembuat wasiat secara tegas ataupun diam-diam selama si
pembuat wasiat belum meninggal dunia. Menurut BW Pencabutan secara diam-diam
terjadi jika dari pembuat wasiat dapat disimpulkan bahwa ia bermaksud mencabut
wasiatnya. Sedangkan pencabutan secara tegas terjadi jika pembuat wasiat
membuat surat wasiat baru yang isinya nyata-nyata memuat tentang pencabutan
kembali surat wasiat semula, atau bisa juga pencabutan dilakukan dengan akta
notaris khusus yang dibuat untuk itu. Sedangkan hukum Islam mengatur pencabutan
wasiat, yaitu apabila pembuat wasiat kemudian dengan surat-surat wasiat yang
lain memberikan harta itu juga kepada orang lain, ini berarti wasiat pertama di
cabut kembali. Akan tetapi jika di dalam surat waasiat yang baru itu harta
tersebut diberikan kepada dua orang, maka harta tersebut harus dibagi sama rata
antara dua orang tersebut.
6.
Hukum Islam tidak
mengenal “fideicommis”. Hal ini hanya dikenal dalam Hukum Waris BW, yaitu
“pemberian warisan kepda seorang ahli waris dengan ketentuan bahwa yang
memperoleh pemberianitu wajib menyimpan warisan tersebut dan setelah pewaris
meninggal atau telah lewat waktu tertentu harta warisan tersebut harus
diserahkan kembali kepada prang lain yang telah ditetaapkan dalam surat
wasiat”. BW menyebut hal itu dengan istilah “pemberian warisan secaara
melangkah”. Akaan tetapi undang-undang sendiri melarang “fidei-commis” ini.
Sebagai pengecualian dari larangan tersebut dikenal ada dua macam fidei-commis
yang diperkenankan oleh undang-undang, yaitu:
a.
Fidei commis yang
isinya bertujuan agar harta pewaris tidak dihabiskan oleh anak-anak pewaris.
Hal ini secara tegas ditetapkan dalam surat wasiat, agar anak-anak pewaris
tidak menjual harta peninggalan itu dengan kewajiban memberikannya kembali
kepada anak mereka.
b.
Fidei-commis de
residuo yaitu penetapan pewaris agar anak-anak pewaris memberikan harta
peninggalan yang tersisa saja kepada orang yang telah ditetapkan dalam surat
wasiat.[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar