Abu Bakar Shidik r.a, Umar Bin Khattab r.a, utsman bin Affan r.a
dan Ali Bin Abi Thalib r.a, mereka adalah khulafaurrasyidin yaitu Khalifah-Khalifah
(pengganti-pengganti) Rasulullah saw yang melaksanakan tugas menjadi kepala
Negara Madinah dan sebagai pembantu rakyat dan wakil pelaksanaan mereka dalam
mengelola Negara.
Setelah nabi Muhammad saw wafat, maka
wahyu dari Allah pun tidak lagi turun untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan manusia. Maka
para khulafaurrasyidin melakukan ijtihad-ijtihad, jika di dalam Alquran
dan hadis Rasulullah saw, tidak di jumpai jawaban dari
permasalahan-permasalahan tersebut. Salah satunya adalah masalah peradilan.
Peradilan itu sangat penting dalam suatu Negara dan di tengah masyarakat.
Karena itu peradilan masa khulafaurrasyidin sangatlah penting guna mengetahui
konsep yang mereka gunakan dalam menyelesaikan permasalahan.
A.
Peradilan Islam Periode Khalifah Abu Bakar r.a
Khalifah Abubakar adalah pengganti Rasulullah saw dalam hal duniawi
(pemerintahan) dan dalam hal ukhrawi (spiritual) yang hanya terbatas pada
pimpinan agama, seperti imam shalat, mufti, dan lain-lain yang bukan sebagai rasul
yang mendapatkan wahyu. Periode Abu Bakar tidak tampak adanya suatu perubahan
dalam bidang peradilan. Hal ini disebabkan karena kesibukan beliau memerangi
orang murtad dan pembangkang menunaikan zakat dan juga menyelesaikan urusan
politik kekuasaan karena meluasnya wilayah pemerintahan pada waktu itu. Khalifah Abu Bakar
menyerahkan urusan peradilan kepada umar bin khatab selama dua tahun lamanya.[1]
Dalam memutuskan suatu perkara Khalifah Abu
Bakar menggunakan sumber hukum
yang dipakai Rasulullah SAW yakni Alquran dan hadis dan ijtihad kerasulan. Rasul sendiri
mengizinkan para sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, hadis
rasul ijtihad atau qiyas. Ini dibuktikan dengan hadis Mu’az bin Jabal saat
beliau diangkat menjadi gubernur dan hakim di Yaman :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حين بعثن إلى اليمن
فقال كيف تصنع إن عرض لك قضاء قال أقضي بما في كتاب الله قال فإن لم يكن في كتاب
الله قال فيسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قل فإن لم يكن في سنة ؤرسول الله صلى
الله عليه وسلم فال أجتهد رأيي لا الو قال فصرب رسول الله صلى اللهعليه و سلم
صدري ثم قال الحمدلله الدي وفق رسول الله صلى الله عليه وسلم لما ير ضي رسول الله
صلى الله عليه وسلم
“Sesunggguhnya rasulullah saw pada saat mengutusnya
(Muaz bin Jabal) ke Yaman, rasul berkata padanya:
“bagaimana kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Muaz pun menjawab:”Aku akan memutuskan dengan apa
yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu rasulullah bertanya:”kalau tidak
terdapat dalam kitab Allah?” Mu’az menjawab: “maka dengan memakai Sunnah
raslullah saw”. Lalu Rasul bertanya:”seumpama tidak ada di Sunnah rasulullah?”
Mu’az menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan pikiranku bukan dengan nafsuku”.
Lalau rasulullah saw menepuk dada Mu’az, dan rasul bersaabda “ segala puji bagi
Allah yang telah mencocokan kerasulan rasulullah pada apa yang diridhai Allah
terhadap rasulnya”.[2]
Jadi, dalam memutuskan suatu perkara Khalifah Abu
Bakar mengambil hukum dari Alquran, jika dalam Alquran tidak terdapat hukum
yang akan diterapkan, maka beliau merujuk kepada Sunnah nabi Muhammad
saw, atau keputusan-keputusan yang pernah di laksanakan oleh Rasul dalam
memutuskan suatu perkara (yurisprudensi). Jika
dalam Sunnah dan yurisprudensi tidak ada, maka beliau bertanya kepada para
sahabat atau para ahli ilmu. Jika para sahabat dan ahli ilmu itu tidak ada yang
mengetahui hukum terhadap kasus yang diminta oleh Khalifah Abu Bakar tersebut,
maka beliau mengumpulkan para pemimpin wilayah dan ahli ilmu pengetahuan untuk
merembuk guna mencari hukum yang tepat dalam kasus tersebut. Hukum yang telah
disepakati itulah yang dijadikan dasar untuk memutus suatu perkara, dan
menetapkan hukum. Beliau pernah berkata ketika berfatwa dengan memakai
pemikiranya dan qiyas:” ini adalah pendapat ku, apabila ia adalah benar, maka
ia adalah dari Allah, apabila ia adalah salah, maka ia dating dariku. Aku mohon
smpun kepada Allah”.[3]
Lembaga peradilan Periode Khalifah Abu Bakar belum di pisah dengan
lembaga pemerintahan. Pada tingkat pusat langsung di pegang oleh Khalifah
sendiri dan pada tingkat daerah dipegang oleh kepala wilayah(gubernur).
Sehingga pelaksanaanya masih tumpang tindih. Jadi pada peride ini,belum ada
pemisah antara tiga jenis kekuasaan yaitu: eksekutif, yudikatif, dan
legeslatif, sebaliknya Khalifah memegang kekuasaan yudikatif. Khalifah bertindak
sebagai orang yang memutus perkara (hakim) dan orang yang melaksanakan putusan
(munafidz) atau melaksanakan eksekusi.[4]
B.
Peradialn Islam Periode
Khalifah Umar
Bin Khatab r.a.
Ketika pemerintahan Islam dipegang Khalifah umar bin khatab,
kekuasaan pemerintahan Islam sudah bertambah luas, banyak kota sudaah berada
dalamwilayah kekuasaan Islam sehingga pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh Khalifah
bertambah banyak dan sulit untuk menyelesaikan sendiri tugas-tugas keNegaraan,
sehingga perlu memisahkan tugas-tugas Negara tersebut ke dalam berrbagai
bidang, termasuk dalam bidang peradilan. Jadi Khalifah umar adalah orang yang
pertama kali memisahkan jabatan qadha dengan jabatan pemerintahan dalam Islam. Periode Khalifah
umar bin khatab beliau sendiri yang mengangkat seseorang untuk menjabat sebagai
hakim guna di tempatkan disuatu daerah, atau beliau mengirim surat kepada para
gubernur supaya mengangkat seorang hakim untuk bertugas di daerahnya dan begitu
juga tentang pemberhentian seorang hakim, sepenuhnya menjadi wewenang Khalifah Umar
Bin Khattab.[5]
Khalifah Umar Bin Khattab berpendapat bahwa tempat yang paling
sesuai untuk menyelesaikan persidangan adalah mesjid, karena mesjid itu tempat
yang mulia dan suci. Jadi tidak perlu di bangun perkantoran tersendiri sebagai
gedung persidangan. Periode ini orang yang non muslim masih dibenarkan oleh Khalifah
Umar untuk menyelesaikan perselisihan mereka sendiri dengan hukum agama mereka
asalkan tidak bertentangan ketentuan umum dan mengganggu ketertiban Negara.
Khalifah umar ibn khattab juga telah membentuk dewan fatwa yang
anggotanya dari golongan sahabat Rasulullah yang mempunyai keahlian dalam
bidang hukum syara’ untuk member fatwa hukum Islam kepada yang memerlukanya,
seperti Ali ibn Abi Thalib, Mu’az ibn jabal, Abdurrahman Ibn ‘Auf, ubai Ibn
kaab, Zaid Ibn tsabit, Abu Hurairah dan Abu Darda’. Selain dari sahabat ini , Khalifah
umar melarang untuk mengeluarkan fatwa hukum. Tujuan dibentuknya dewan fatwa
ini adalah untuk memberikan fatwa dan mencegah serta membetulkan fatwa-fatwa
yang tidak benar dan bertentangan dengan hukum syara’.[6]
Selain itu Khalifah Umar Bin Khattab juga telah membentuk lembaga
yang menangani urusan kriminal dan pidana selain zina yang langsung di tangani
oleh hakim. Lembaga ini di sebut dengan Ahdath yaitu pasukan polisi yang
bertugas melindungi masyarakat dari segala hal yang mengandung ketertiban.
Polisi yang bertugas mencegah terjadi kerusuhan dan menangkap pelaku kriminal
disebut dengan Sahibul Ardath.[7]
Dalam sejarah peradilan Islam, Khalifah Umar Bin Khattab yang
pertama kali mengadakan sistem penjara bagi para pelaku kriminal atau pelaku jinayah
lainnya. Tetapi setelah Shuraih di angkat sebagai hakim, beliau jugga memasukan
pula orang yang dihukum karena tidak membayar utang (judgment debitor)
dan orang yang minum arak, tapi ia tidak insaf. Selain itu penjara juga di
peruntukan untuk otang yang ingkar janji (wanprestasi).[8]
Sumber hukum yang dipakai Khalifah umar adalah sama seperti Khalifah Abu Bakar . Beliau memakai Alquran, lalu Sunnah.
Seumpama tidak ada beliau merujuk apakah Abu Bakar pernah memutuskan hal yang
serupa, dan seumpama tidak ada barulah beliau memanggil para tokoh untuk di
musyawarahkan.[9]
C.
Peradilan Islam Periode
Khalifah Usman
Bin Affan r.a
Ketika jabatan Khalifah dijabat oleh Usman bin Affan, sistem
peradilan yang tela di bangun oleh Khalifah Umar Bin Khattab terus di
sempurnakan. Usaha –usaha yang dilakukan Usman bin Affan dalam bidang peradilan
antara lain:
1.
Membangun
gedung peradilan baik di kota madinah maupun di daerah-daerah.
2.
Menyempurnakan
adminitrasi peradilan dan mengangkat pejabat-pejabat yang mengurusi adminitrasi
peradilan.
3.
Memberikan
gaji kepada hakim dan stafnya dengan dana yang diambil dari baitulmal.
4.
Mengangkat
naib hakim, semacam panitra yang membantu tugas-tugas hakim.
Dalam memberi hukum Khalifah
Usman bin Affan merujuk Alquran, jika
tidak didapati maka beliau merujuk kepada hadis rasul jika tidak didapati
beliau merujuk pendapat Khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan
menyampaikan perkara tersebut kepada para
sahabat, kemudian para sahabat menyampaikan pendapatnya masing-masing dan hasil
dari musyawarah itulah yang akan dijadikan untuk memutuskan perkara hokum yang
dihadapinya.
D.
Peradilan Islam Periode
Khalifah Ali
Ibn Abi Thalib r.a
Pada periode Khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a tidak banya perubahan
yang dilakukan dalam bidang peradilan, disebabkan karena situasi Negara pada
waktu itu yang tidak setabil karena ada pihak-pihak yang tidak menyukai keKhalifahannya.
Kebijakan yang dilakukan oleh beliau hanya melanjutkan kebijaksanaan yang telah
ditetapkan oleh Khalifah usman bin affan dengan sedikit perubahan misalnya
dalam pengangkatan hakim, jika sebelumnya pengangkatan hakim menjadi wewenang
penuh pemerintah pusat(Khalifah), Periode Ali diserahkan kepada gubernur
(pemerintah daerah) untuk mengangkatnya.
Sumber hukum yang digunakan Khalifah Ali Bin Abi Thalib dalam
memutuskan hukum berpegang pada Alquran, Sunnah, lalu merujuk pada Khalifah
sebelumnya. Seumpama tidak ditemui, baru beliau bermusyawarah dengan sahabat
yang lain.
Melihat perkembangan peradilan Periode khukafaurrasyidin dapat
diketahui bahwa bahwa peradilan masih dalam taraf pembentukan, organisasinya
belum sempurna. Orang-orang yang mencari keadilan mengadukan perkaranya dalam
bentuk fatwa, apabila hakim telah menetapkan suatu hukum , maka para pencari
keadilan segera menyelesaikan sendiri perkaranya dan mereka sangat patuh terhadap keputusan hakim
tersebut. Jabatan hakim dalam perode khulafaurrasyidin dianggap suatu jabatan
yang terhormat dan mempunyai pengaruh yang sangat besar kepada seluruh Negara
dan masyarakat. Hakim dapat menyamaratakan antara rakyat biasa dengan pejabat Negara
dan pemerintahan antara orang yang mulia dan hina dalam persidangan pengadilan.
Hakim pada zaman khulafaurrasyidin semuanya orang-oarang yang mempunyai
keahlian dalam bidang ijtihad, bukan ahli taqlid kepada seorang imam dalam
menetapkan hukum.[10]
[1] Abdul manan.2007.Etika Hakim
DalamPenyelenggaraan Peradilan Islam. Jakarta :
kencana ,hlm.80.
[2]
http://moeslim-sejarahperadilanIslam.co.id.
Diakses tanggal 3 oktober 2010.
[3]
Ibid.,http://…
[4]
Op. cit.,Abdul Manan, hlm. 80-81.
[5]
Ibid.,hlm.81
[6]
Ibid.,hlm. 82.
[7]
Ibid., hlm. 83.
[8]
Ibid., hlm. 83.
[9]
Op. cit., http://...
[10]
Op. cit.,Abdul Manan, hlm. 83-84.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar