Jumat, 11 Juli 2014

Menilik Peradilan Khulafaurrasyiddin

PERADILAN MASA KHULAFAURRASYIDDIN


Abu Bakar Shidik r.a, Umar Bin Khattab r.a, utsman bin Affan r.a dan Ali Bin Abi Thalib r.a, mereka adalah khulafaurrasyidin yaitu Khalifah-Khalifah (pengganti-pengganti) Rasulullah saw yang melaksanakan tugas menjadi kepala Negara Madinah dan sebagai pembantu rakyat dan wakil pelaksanaan mereka dalam mengelola Negara.
Setelah nabi Muhammad saw wafat, maka wahyu dari Allah pun tidak lagi turun untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan manusia. Maka  para khulafaurrasyidin melakukan ijtihad-ijtihad, jika di dalam Alquran dan hadis Rasulullah saw, tidak di jumpai jawaban dari permasalahan-permasalahan tersebut. Salah satunya adalah masalah peradilan. Peradilan itu sangat penting dalam suatu Negara dan di tengah masyarakat. Karena itu peradilan masa khulafaurrasyidin sangatlah penting guna mengetahui konsep yang mereka gunakan dalam menyelesaikan permasalahan.
A.   Peradilan Islam Periode Khalifah Abu Bakar r.a
Khalifah Abubakar adalah pengganti Rasulullah saw dalam hal duniawi (pemerintahan) dan dalam hal ukhrawi (spiritual) yang hanya terbatas pada pimpinan agama, seperti imam shalat, mufti, dan lain-lain yang bukan sebagai rasul yang mendapatkan wahyu. Periode Abu Bakar tidak tampak adanya suatu perubahan dalam bidang peradilan. Hal ini disebabkan karena kesibukan beliau memerangi orang murtad dan pembangkang menunaikan zakat dan juga menyelesaikan urusan politik kekuasaan karena meluasnya wilayah pemerintahan pada waktu itu. Khalifah Abu Bakar menyerahkan urusan peradilan kepada umar bin khatab selama dua tahun lamanya.[1]
Dalam memutuskan suatu perkara Khalifah Abu Bakar menggunakan sumber hukum yang dipakai Rasulullah SAW yakni Alquran dan hadis dan ijtihad kerasulan. Rasul sendiri mengizinkan para sahabat memutuskan perkara sesuai dengan ketetapan Allah, hadis rasul ijtihad atau qiyas. Ini dibuktikan dengan hadis Mu’az bin Jabal saat beliau diangkat menjadi gubernur dan hakim di Yaman:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حين بعثن إلى اليمن فقال كيف تصنع إن عرض لك قضاء قال أقضي بما في كتاب الله قال فإن لم يكن في كتاب الله قال فيسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قل فإن لم يكن في سنة ؤرسول الله صلى الله عليه وسلم فال أجتهد رأيي لا الو قال فصرب رسول الله صلى اللهعليه و سلم صدري ثم قال الحمدلله الدي وفق رسول الله صلى الله عليه وسلم لما ير ضي رسول الله صلى الله عليه وسلم 
Sesunggguhnya rasulullah saw pada saat mengutusnya (Muaz bin Jabal) ke Yaman, rasul berkata padanya: “bagaimana kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Muaz pun menjawab:”Aku akan memutuskan dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu rasulullah bertanya:”kalau tidak terdapat dalam kitab Allah?” Mu’az menjawab: “maka dengan memakai Sunnah raslullah saw”. Lalu Rasul bertanya:”seumpama tidak ada di Sunnah rasulullah?” Mu’az menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan pikiranku bukan dengan nafsuku”. Lalau rasulullah saw menepuk dada Mu’az, dan rasul bersaabda “ segala puji bagi Allah yang telah mencocokan kerasulan rasulullah pada apa yang diridhai Allah terhadap rasulnya”.[2]
Jadi, dalam memutuskan suatu perkara Khalifah Abu Bakar mengambil hukum dari Alquran, jika dalam Alquran tidak terdapat hukum yang akan diterapkan, maka beliau merujuk kepada Sunnah nabi Muhammad saw, atau keputusan-keputusan yang pernah di laksanakan oleh Rasul dalam memutuskan suatu perkara (yurisprudensi). Jika dalam Sunnah dan yurisprudensi tidak ada, maka beliau bertanya kepada para sahabat atau para ahli ilmu. Jika para sahabat dan ahli ilmu itu tidak ada yang mengetahui hukum terhadap kasus yang diminta oleh Khalifah Abu Bakar tersebut, maka beliau mengumpulkan para pemimpin wilayah dan ahli ilmu pengetahuan untuk merembuk guna mencari hukum yang tepat dalam kasus tersebut. Hukum yang telah disepakati itulah yang dijadikan dasar untuk memutus suatu perkara, dan menetapkan hukum. Beliau pernah berkata ketika berfatwa dengan memakai pemikiranya dan qiyas:” ini adalah pendapat ku, apabila ia adalah benar, maka ia adalah dari Allah, apabila ia adalah salah, maka ia dating dariku. Aku mohon smpun kepada Allah”.[3]
Lembaga peradilan Periode Khalifah Abu Bakar belum di pisah dengan lembaga pemerintahan. Pada tingkat pusat langsung di pegang oleh Khalifah sendiri dan pada tingkat daerah dipegang oleh kepala wilayah(gubernur). Sehingga pelaksanaanya masih tumpang tindih. Jadi pada peride ini,belum ada pemisah antara tiga jenis kekuasaan yaitu: eksekutif, yudikatif, dan legeslatif, sebaliknya Khalifah memegang kekuasaan yudikatif. Khalifah bertindak sebagai orang yang memutus perkara (hakim) dan orang yang melaksanakan putusan (munafidz) atau melaksanakan eksekusi.[4]

B.   Peradialn Islam Periode Khalifah Umar Bin Khatab r.a.
Ketika pemerintahan Islam dipegang Khalifah umar bin khatab, kekuasaan pemerintahan Islam sudah bertambah luas, banyak kota sudaah berada dalamwilayah kekuasaan Islam sehingga pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh Khalifah bertambah banyak dan sulit untuk menyelesaikan sendiri tugas-tugas keNegaraan, sehingga perlu memisahkan tugas-tugas Negara tersebut ke dalam berrbagai bidang, termasuk dalam bidang peradilan. Jadi Khalifah umar adalah orang yang pertama kali memisahkan jabatan qadha dengan jabatan pemerintahan dalam Islam. Periode Khalifah umar bin khatab beliau sendiri yang mengangkat seseorang untuk menjabat sebagai hakim guna di tempatkan disuatu daerah, atau beliau mengirim surat kepada para gubernur supaya mengangkat seorang hakim untuk bertugas di daerahnya dan begitu juga tentang pemberhentian seorang hakim, sepenuhnya menjadi wewenang Khalifah Umar Bin Khattab.[5]
Sejak Khalifah Umar bin Khatab memisahkan tugas-tugas kehakiman dengan tugas-tugas pemerintahan umum, banyak instruksi yang dibuatnya untuk pegangan para hakim yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara di muka sidang dan pokok-pokok hukum yang harus di pegang hakim dalam menyelesaikan perkara yang sekarang dikenal dengan hukum acara.
Khalifah Umar Bin Khattab berpendapat bahwa tempat yang paling sesuai untuk menyelesaikan persidangan adalah mesjid, karena mesjid itu tempat yang mulia dan suci. Jadi tidak perlu di bangun perkantoran tersendiri sebagai gedung persidangan. Periode ini orang yang non muslim masih dibenarkan oleh Khalifah Umar untuk menyelesaikan perselisihan mereka sendiri dengan hukum agama mereka asalkan tidak bertentangan ketentuan umum dan mengganggu ketertiban Negara.
Khalifah umar ibn khattab juga telah membentuk dewan fatwa yang anggotanya dari golongan sahabat Rasulullah yang mempunyai keahlian dalam bidang hukum syara’ untuk member fatwa hukum Islam kepada yang memerlukanya, seperti Ali ibn Abi Thalib, Mu’az ibn jabal, Abdurrahman Ibn ‘Auf, ubai Ibn kaab, Zaid Ibn tsabit, Abu Hurairah dan Abu Darda’. Selain dari sahabat ini , Khalifah umar melarang untuk mengeluarkan fatwa hukum. Tujuan dibentuknya dewan fatwa ini adalah untuk memberikan fatwa dan mencegah serta membetulkan fatwa-fatwa yang tidak benar dan bertentangan dengan hukum syara’.[6]
Selain itu Khalifah Umar Bin Khattab juga telah membentuk lembaga yang menangani urusan kriminal dan pidana selain zina yang langsung di tangani oleh hakim. Lembaga ini di sebut dengan Ahdath yaitu pasukan polisi yang bertugas melindungi masyarakat dari segala hal yang mengandung ketertiban. Polisi yang bertugas mencegah terjadi kerusuhan dan menangkap pelaku kriminal disebut dengan Sahibul Ardath.[7]
Dalam sejarah peradilan Islam, Khalifah Umar Bin Khattab yang pertama kali mengadakan sistem penjara bagi para pelaku kriminal atau pelaku jinayah lainnya. Tetapi setelah Shuraih di angkat sebagai hakim, beliau jugga memasukan pula orang yang dihukum karena tidak membayar utang (judgment debitor) dan orang yang minum arak, tapi ia tidak insaf. Selain itu penjara juga di peruntukan untuk otang yang ingkar janji (wanprestasi).[8]
Sumber hukum yang dipakai Khalifah umar adalah sama seperti Khalifah Abu Bakar. Beliau memakai Alquran, lalu Sunnah. Seumpama tidak ada beliau merujuk apakah Abu Bakar pernah memutuskan hal yang serupa, dan seumpama tidak ada barulah beliau memanggil para tokoh untuk di musyawarahkan.[9]
C. Peradilan Islam Periode Khalifah Usman Bin Affan r.a
Ketika jabatan Khalifah dijabat oleh Usman bin Affan, sistem peradilan yang tela di bangun oleh Khalifah Umar Bin Khattab terus di sempurnakan. Usaha –usaha yang dilakukan Usman bin Affan dalam bidang peradilan antara lain:
1.      Membangun gedung peradilan baik di kota madinah maupun di daerah-daerah.
2.      Menyempurnakan adminitrasi peradilan dan mengangkat pejabat-pejabat yang mengurusi adminitrasi peradilan.
3.      Memberikan gaji kepada hakim dan stafnya dengan dana yang diambil dari baitulmal.
4.      Mengangkat naib hakim, semacam panitra yang membantu tugas-tugas hakim.
Dalam memberi hukum Khalifah Usman bin Affan merujuk Alquran, jika tidak didapati maka beliau merujuk kepada hadis rasul jika tidak didapati beliau merujuk pendapat Khalifah sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan menyampaikan perkara tersebut  kepada para sahabat, kemudian para sahabat menyampaikan pendapatnya masing-masing dan hasil dari musyawarah itulah yang akan dijadikan untuk memutuskan perkara hokum yang dihadapinya.
D. Peradilan Islam Periode Khalifah Ali Ibn Abi Thalib r.a
Pada periode Khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a tidak banya perubahan yang dilakukan dalam bidang peradilan, disebabkan karena situasi Negara pada waktu itu yang tidak setabil karena ada pihak-pihak yang tidak menyukai keKhalifahannya. Kebijakan yang dilakukan oleh beliau hanya melanjutkan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Khalifah usman bin affan dengan sedikit perubahan misalnya dalam pengangkatan hakim, jika sebelumnya pengangkatan hakim menjadi wewenang penuh pemerintah pusat(Khalifah), Periode Ali diserahkan kepada gubernur (pemerintah daerah) untuk mengangkatnya.
Sumber hukum yang digunakan Khalifah Ali Bin Abi Thalib dalam memutuskan hukum berpegang pada Alquran, Sunnah, lalu merujuk pada Khalifah sebelumnya. Seumpama tidak ditemui, baru beliau bermusyawarah dengan sahabat yang lain.
Melihat perkembangan peradilan Periode khukafaurrasyidin dapat diketahui bahwa bahwa peradilan masih dalam taraf pembentukan, organisasinya belum sempurna. Orang-orang yang mencari keadilan mengadukan perkaranya dalam bentuk fatwa, apabila hakim telah menetapkan suatu hukum , maka para pencari keadilan segera menyelesaikan sendiri perkaranya  dan mereka sangat patuh terhadap keputusan hakim tersebut. Jabatan hakim dalam perode khulafaurrasyidin dianggap suatu jabatan yang terhormat dan mempunyai pengaruh yang sangat besar kepada seluruh Negara dan masyarakat. Hakim dapat menyamaratakan antara rakyat biasa dengan pejabat Negara dan pemerintahan antara orang yang mulia dan hina dalam persidangan pengadilan. Hakim pada zaman khulafaurrasyidin semuanya orang-oarang yang mempunyai keahlian dalam bidang ijtihad, bukan ahli taqlid kepada seorang imam dalam menetapkan hukum.[10]






[1] Abdul manan.2007.Etika Hakim DalamPenyelenggaraan Peradilan Islam. Jakarta: kencana ,hlm.80.
[2] http://moeslim-sejarahperadilanIslam.co.id. Diakses tanggal 3 oktober 2010.
[3] Ibid.,http://…
[4] Op. cit.,Abdul Manan, hlm. 80-81.
[5] Ibid.,hlm.81
[6] Ibid.,hlm. 82.
[7] Ibid., hlm. 83.
[8] Ibid., hlm. 83.
[9] Op. cit., http://...
[10] Op. cit.,Abdul Manan, hlm. 83-84.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar